BLOG INI DI KHUSUS BERBAHASA SUNDA BAGI YANG MAU MEMPELAJARI BAHASA SUNDA BISA BELAJAR BERSAMA-SAMA,DAN BLOG INI HANYA PEMBELAJARAN TUGAS MATA KULIAH DIFUSI INOVASI BERBASIS ON-LINE

WAKTU

RUPI-RUPI


Membangkitkan seni raja dogar untuk melestarikan budaya asli kabupaten garut



Dua domba dengan lincah meng-adu ketangkasan masing-masing di tengah riuh tepuk tangan dan sorak sorai penonton yang hadir di Alun-alun pendopo Kabupaten Garut siang itu. Sedikit keganjilan tampak pada adu ketangkasan itu. Selain tubuh kedua domba yang lebih besar daripada domba adu biasa, selama adu jajaten sama sekali tidak ada kontak fisik di antara keduanya. Namun entah kenapa, di akhir pertarungan salah satu domba tersungkur dan dinya-takan kalah.
Kendati demikian, penonton tampak puas menyaksikan tontonan di depan mereka. Bahkan pada saat domba pemenang menyeruduk si empunya domba yang kalah sampai terkapar di atas tanah, penonton justru malah terbahak-bahak.
Tidak perlu heran, karena semua itu hanyalah skenario komedi teatrikal yang tengah dimainkan oleh para seniman Raja Dogar yang turut menyemarakkan Helar Garut Summit 2009, Minggu (19/7) lalu.
Sama seperti atraksi seni tradisional pada umumnya, pertunjukan Raja Dogar diawali tarian yang disuguhkan oleh belasan ‘Kembang Desa’. Menyusul kemudian atraksi pencak silat dari enam jawara berkumis baplang yang mengenakan pangsi hitam, topi koboi hitam, dan kacamata hitam.
Di tengah pertunjukan, skenario pun di mulai. Dua kubu jawara itu diceritakan mengalami pertikaian satu sama lain. Bentrokan pun tak bisa dihindari. Adu kesaktian berlangsung dalam kemasan komedi cukup menggelikan. Terlebih dengan hadirnya seorang wasit berpakaian loreng lengkap dengan peluit.
Pertarungan berlangsung seimbang antara kedua kubu jawara itu. Kedua pihak sepakat menyelesaikan pertikaian dengan adu ketangkasan domba milik mereka masing-masing. Dikisahkan domba milik pihak antagonis memiliki bulu berwarna hitam, sedangkan domba protagonis berbulu putih. Keduanya bukanlah domba sungguhan, melainkan dua orang seniman yang mengenakan kostum domba layaknya barongsai.
Setelah beberapa kali beradu fisik, pertarungan akhirnya pertarungan dimenangi oleh domba berbulu putih. Di akhir pertunjukan.

Tidak banyak hal menarik dalam acara yang mengikuti Konferensi Garut Summit 2009, sehari sebelumnya itu. Namun apresiasi seni di dalamnya cukup menarik minat pengunjung.
Selain Raja Dogar, dua pertunjukan kesenian lain, Surak Ibra dan Lais juga turut meramaikan gelaran ini. Ketiganya merupakan atraksi seni khas Garut yang selama ini jarang dipertontonkan.
Meski kental dengan adu ketangkasan domba yang menjadi ikon Garut, Raja Dogar ternyata belum banyak dikenal, baik oleh masyarakat luar maupun warga Garut sendiri. Wajar saja, kesenian yang memadukan empat unsur utama, musik, tarian, teatrikal, dan komedi ini baru tercipta sekitar lima tahun lalu.
Sang pencipta, Entis Sutisna (52) dari Sanggar Bentang Pasundan mengatakan, Raja Dogar ia ciptakan sejak tanggal 18 Desember 2005 lalu. "Disebut Raja Dogar karena bentuk dan ukuran domba yang difigurkan lebih besar dari domba adu asli yang ada di Garut," ujarnya.
Entis berharap, kesenian hasil karya dirinya itu bisa menjadi salah satu ikon Garut ke depan. "Garut kan terkenal dengan adu ketangkasan domba. Untuk mengangkat nama domba adu khas garut dan kesenian lain, saya ciptakan Raja Dogar," kata dia.
Entis mengaku, konsep figur domba dalam pertunjukan Raja Dogar tidak jauh berbeda dari barongsai. "Domba divisualisasikan oleh manusia seperti barongsai. Tetapi barongsai figurnya tidak riil kalau domba itu riil," tuturnya.
Ada dua pesan yang ingin disampaikan Entis dalam suguhan komedi teatrikal Raja Dogar. "Pesannya tidak semua masalah harus diselesaikan dengan adu jotos. Dalam setiap kehidupan selalu ada dua sisi, kebaikan dan kejahatan. Kejahatan yang dilambangkan domba hitam akan selalu dikalahkan oleh kebaikan yang dilambangkan domba putih," tutur dia.
Raja Dogar, menurut Entis, sempat diberhentikan selama dua tahun dan baru muncul kembali tahun 2007. Dengan konsep yang semakin matang, tahun 2008 Raja Dogar dipertontonkan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan mendapat sambutan cukup baik.
Entis bersama seluruh rombongan kini terus melakukan inovasi dalam segi permainan dan kostum untuk bisa berkompetisi dengan budaya masyarakat yang makin modern. "Selama ini budaya tradisional hampir ditinggalkan, lewat Raja Dogar diharapkan budaya lama bisa hidup kembali," ujar Entis
 
Pelestarian seni surak ibra ditengah budaya modernisasi rakyat jawa barat



     Surak Ibra, pada awalnya dikenal masyarakat Garut sebagai seni Boyongan atau Boboyongan yang menampilkan tokoh masyarakat yang bernama Pa Ibra (seorang pendekar silat yang memiliki kharisma di Garut). Akhirnya, Boboyongan tersebut oleh masyarakat dikenal sebagai Surak Ibra, konon sebagai penghormatan kepada Bapak Ibra.
Perkembangan
Dalam perkembangannya Surak Ibra menjadi seni pertunjukan rakyat khas Garut, karena jenis seperti ini tidak ada di daerah lain. Dalam tuturan riwayat tentang Surak Ibra, tercatat sebagai berikut:
Sekitar tahun 1910 seorang tokoh masyarakat bernama Bapak Eson mengembangkan Boboyongan dengan sebutan dari masyarakat sebagai Surak Eson. Namun setelah meninggal, Surak Eson tidak populer lagi, kembali ke Boboyongan dengan sebutan masyarakat sebagai Surak Ibra.
Pada masa lalu Surak Ibra dipertunjukan pada pesta-pesta di Garut, yang biasa dikenal sebagai "pesta Raja". Pada saat itu para dalem (bupati) Garut mengadakan hajatan. Dalam perkembangannya Surak Ibra sering ditampilkan dalam upacara hari-hari besar (khususnya hari Kemerdekaan Republik Indonesia). Khususnya di desa Cinunuk, Garut, di mana banyak masyarakat berziarah ke makam Cinunuk, untuk meningkatkan rasa solidaritas dan menggalang persatuan antar warga. Maka pada tanggal 30 Mei 1910 di Kasepuhan Cinunuk terbentuk sebuah organisasi masyarakat yang bernama Himpunan Dalem Emas (HDE) yang turut serta ngamumule, melestarikan Surak Ibra. Namun pada tahun 1948 HDE bubar, dengan pertimbangan bahwa Surak Ibra milik negara, maka sejak tahun 1948 pengelolaan Surak Ibra dilanjutkan oleh aparat desa sampai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, dari perkembangan Surak Ibra, dewasa ini Bapak Amo menjadi dikenal sebagai tokoh pewaris Surak Ibra. Di dalam pelbagai kegiatan, Bapak Amo selalu memimpin Surak Ibra dari Garut dan dipercayai masyarakat pendukung Surak Ibra sebagai sesepuh. Surak Ibra dewasa ini telah menjadi seni pertunjukan khas Garut, selain tak ada di daerah lain, juga memiliki sifat fleksibel sebagai potensi seni kemas yang kolosal, dan telah dibuktikan ketika diundang dalam Pesta Seni ITB tahun 2000, dengan mengusung patung Ganeca oleh puluhan penari Surak Ibra, yang pertunjukkannya sempat memukau penonton Pesta Seni pada waktu itu.
Bentuk pertunjukan
Pertunjukan Surak Ibra melibatkan sejumlah orang, terutama laki-laki. Pertunjukan dimulai dengan sejumlah pemuda membawa obor yang menyala lalu mengambil formasi berbanjar. Mereka menari gerakan-gerakan silat. Disusul oleh rombongan penari Surak Ibra (biasanya jumlahnya sekitar 30-60 orang) yang memakai kostum pesilat (hanya tidak menggunakan warna hitam lagi, tetapi warna kuning dan merah) bergerak dengan penuh semangat, menampilkan gerakan-gerakan pencak silat. Terdapat yang bertindak sebagai pengatur (pemberi komando), atas komandonya musik pengiring ditabuh serempak (biasanya lagu Golempang) bersambung dengan sorak-sorai yang meriah (bhs. Sunda eak-eakan), antara musik dan sorak menciptakan suasana yang meriah dan dinamis. Setelah itu mereka melakukan formasi-formasi tertentu dengan gerakan-gerakan pencak silat. Pada saat mereka membuat formasi lingkaran, salah seorang dari mereka bertindak sebagai tokoh yang akan diboyong (diangkat-angkat), ketika lingkaran semakin menyempit tokoh tadi diangkat oleh sebagian penari Surak Ibra, ia pasrah diangkat naik turun, diikuti musik dan sorak sorai yang semakin meriah. Ia di atas tangan-tangan penari Surak Ibra menari-nari dan berpindah-pindah dari tangan ke tangan yang lain, kadang tinggi sekali melambung ke atas, sorak sorai pun semakin ramai. Biasanya setelah atraksi Surak Ibra yang memukau itu, kembali ke formasi semula sebagai sebuah Helaran.
Iringan musik yang berada di formasi belakang terus mengiringi sepanjang pertunjukan, atraksi serupa dilakukan kembali pada titik-titik tertentu sepanjang perjalanan Helaran.
Musik pengiring Surak Ibra yang secara umum, sama dengan pengiring Kendang Pencak, hanya ditambah angklung dan dogdog sebagai pelengkap. Lagu-lagu pencak silat sering dipakai, seperti: Golempang, Padungdung, dll.

Makna
 Beberapa makna yang terkandung dalam pertunjukan Surak Ibra di antaranya adalahMakna Syukuran: masyarakat sebagai komunitas biasanya memiliki cara syukuran berdasarkan caranya yang diwariskan perintisnya. Sebagaimana halnya Surak Ibra, yang bertolak dari rasa penghormatan kepada karisma Bapak Ibra sebagai pendekar Silat yang disegani di Garut pada saat itu;
*       Makna teatrikal: tampilan Surak Ibra dengan jumlah pendukungnya lebih dari 60 orang, menunjukan peluang teatrikal, apalagi ketika adegan boboyongan naik turun dibarengi dengan sorak sorai serempak.


Melestarikan seni Lais sebagai budaya asli rakyat kota garut

Kesenian Lais diambil dari nama seseorang yang sangat terampil dalam memanjat pohon kelapa yang bernama Laisan, yang sehari-hari dipanggil Pak Lais. Lais ini sudah dikenal sejak zaman Penjajahan Belanda. Tempatnya di Kampung Nangka Pait, Kecamatan Sukawening. Atraksi yang ditontonkan mula-mula pelais memanjat bambu lalu pindah ke tambang sambil menari-nari dan berputar di udara tanpa menggunakan sabuk pengaman.
Kesenian lais merupakan kesenian tradisional yang memperlihatkan ketangkasan pemainnya. Kesenian ini mirip akrobat yang ditampilkan dalam acara sirkus. Orang yang mengaksikan bisa dibuat berdebar-debar karena pemain lais membuat penonton terpesona. Cara Pak Lais memanjat kelapa sangat berbeda dengan yang dilakukan kebanyakan orang. la cukup memanjat sekali saja untuk mengambil kelapa di beberapa pohon.
Caranya, setelah memanjat clan mengambil kelapa dari satu pohon, ia tidak langsung turun. Tetapi ia akan mencari pohon terdekat clan menjangkau pelepahnya untuk kemudian bergelayun pindah ke pohon lain. Demikianlah seterusnya. la akan berpindah-pindah dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya dengan cara bergelayun melalui pelepahnya.
Karena keahliannya itu, la sering dipanggil untuk diminta memetik kelepa oleh orang-orang sekampung. Caranya yang unik dalam memetik kelapa akhirnya sering menjadi tontonan masyarakat. Jika ia diminta memetik kelapa, orang suka berbondong-bondong menontonnya, terutama anak-anak. Terkadang, orang yang menonton tidak hanyak bersorak sorai, tetapi membunyikan berbagai tabuhan sambil menari-nari.
Atas inisiatif beberapa tokoh masyarakat, ketangkasan Pa Lais kemudian dimodifikasi dalam bentuk lain dan ditampilkan dalam berbagai acara hiburan. Sebagai pengganti pohon kelapa, dipancangkanlah dua batang bambu setinggi ± 12 – 13 meter, dengan jarakrenggang sekitar 6 meter. Pada ujung kedua batang bambu An dipasang tali atau tambang besar untuk Pak Lais mempertontonkan ketangkasannya. Sementara untuk menyemarakan acara tersebut, disajikan berbagai tabuhan seperti dogdog, terompet, kendang, dan kempul. Selain itu, ditampilkan pula seorang pelawak yang berdialog langsung dengan pemain lais.
Dalam perkembangannya, kesenian ini ternyata disukai masyarakat. Banyak orang yang sengaja mengundang grup kesenian lais untuk berbagai acara hiburan. Bahkan kesenian ini sempat diundang oleh masyarakat di luar Garut, seperti ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra. Salah satu grup kesenian lais yang sampai sekarang masih hidup berasal dari Desa Cisayad, Kecamatan Cibatu, Garut. Dalam mempertunjukkan lais, grup ini mengiringinya dengan kesenian dogdog atau kendang penca. Mula-mula ditampilkan reog atau lawakan. Baru kemudian pemain lais naik ke atas bambu dan melakukan berbagai atraksi di atas tambang bertelungkup, berputar, tiduran, jungkir balik, berjalan dengan satu tangan, atau turun dari atas bambu dengan kepala di bawah.
PEKIK tertahan, jari menutup mulut atau tangan bersilang di dada sambil merasakan debar jantung menghias laku massa yang memadati halaman Gedung Wisma Karya, Subang, Rabu (12/2) lalu. Atraksi "seni lais" di siang hari bolong itu memang mengundang rasa ngeri, sekaligus decak kagum. Seorang "pelais", demikian pelakon utama dalam seni ini disebut, dari kejauhan tampak bukan manusia. Kemahirannya memanjat, membuat orang akan segera membenarkan Teori Darwin bahwa monyet sebagai muasal manusia.
Tanpa canggung sedikit pun, ia memanjat tiang bambu yang tinggi. Tanpa jeda, ia kemudian meraih tambang dan beratraksi di atasnya, berjalan dengan satu tangan, jungkir balik, berputar, tidur telungkup hingga berbaring santai. Saat kembali ke tanah meniti bambu, ia turun dengan kepala di bawah. Semua atraksi yang mendebarkan ini dilakukan tanpa bantuan alat pengaman sedikit pun.
Bagi kebanyakan penonton, seni lais adalah "barang baru". Nama Lais diambil dari nama seseorang yang sangat trampil memanjat pohon kelapa. Laisan berasal dari Garut, sejak zaman penjajahan Belanda seni ini masuk ke daerah Subang. Di Subang, lais lebih dikenal dengan nama kulawit.
Selain menampilkan seni ketangkasan, lais disisipi juga dengan unsur musik yang berasal dari dogdog, terompet, kendang, dan kempul. Suasana semakin hidup dengan tampilnya seorang pelawak yang menjadi mediator antara pemain lais dan penonton.
Tontonan yang langka ini adalah upaya Gabungan Inisiatif Barisan Siliwangi (Gibas) Resort Subang untuk menghidupkan kembali seni-seni tradisional yang dimiliki daerah Subang. Dalam kesempatan pergelaran sehari ini, dilakukan pula diskusi dan pameran visualisasi tempo dulu.
"Coba kalau panggung dan gedung wisma dipakai rutin dengan penampilan seni budaya, minimal sebulan sekali kan rame. Daripada mubazir dan akhirnya rusak dimakan waktu," kata Rosyadi, pengamat budaya asal Pagaden, menyambut gembira acara ini, kendati menyayangkan waktu yang dipilih adalah hari kerja.
Yang tak kalah senang adalah Wawan Herawan, Ketua Dewan Kesenian Subang. "Saat ini, banyak warisan leluhur berupa kesenian dan kebudayaan ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini bukan saja karena pengaruh globalisasi yang membuat kesenian dari luar banyak yang masuk. Namun, juga akibat kepedulian pihak pelestari budaya lokal sangat kurang," ungkap Wawan.
Menurut Wawan, pihaknya sudah sering menyuarakan hal ini kepada pemerintah. Ia memperkirakan kemungkinan besar tersangkut masalah dana, sebuah masalah klasik di mana pun. Jika ini yang menjadi masalah, kata Wawan, sebenarnya bisa disiasati. "Banyak kesenian yang bisa menghasilkan dan dijadikan investasi di Kabupaten Subang dan ini bisa menghasilkan pendapatan bagi daerah sendiri," kata Wawan.
Di lain pihak, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga (Disbudparmudora) Kab. Subang, H. Kamal Ma`ruf kepada wartawan membantah bahwa pihaknya tidak berusaha melakukan pembinaan dan melestarikan kesenian tradisional yang jumlahnya mencapai 30 jenis. Namun diakuinya, persoalan biaya memang masih menjadi kendala. Di sisi lain, Kamal melihat bahwa Subang berhasil mempertahankan esksitensi seni tradisional yang terbilang langka seperti seni gembyung, jaipong, toleat, cangklung, sisingaan, dan lais sendiri.